Mengawali perkuliahan Radio Siaran dan Podcast, pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada mahasiswa adalah, “Siapa di antara kalian yang masih mendengarkan radio saat ini?” Seperti yang sudah diduga, sebagian besar dari mereka jarang mendengarkan radio.
Namun, dalam sebuah konten yang saya temui, sejumlah testimoni remaja menyebutkan bahwa mereka masih mendengarkan radio. Di tengah dominasi platform streaming, pengakuan mereka juga memberikan gambaran tentang perilaku pendengar radio masa kini.
Mereka mengaku mendengarkan radio bukan hanya untuk musik, tetapi juga untuk informasi lokal, acara bincang-bincang yang menghibur, dan ikatan emosional yang mereka rasakan dengan penyiar.
Fenomena ini menunjukkan, bahwa meskipun teknologi dan kebiasaan konsumsi media telah berubah, radio masih menarik perhatian generasi muda. Namun pertanyaannya, bagaimana radio dapat terus beradaptasi untuk tetap menarik perhatian generasi muda terutama pada era streaming ini?
Radio telah menjadi saksi dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih dan mengisi kemerdekaan. Dalam perjalanan berikutnya, stasiun radio bertumbuh di pelosok negeri dan menjadi media dalam mengabarkan peristiwa di Indonesia. Radio telah menjadi medium penting yang mendampingi kehidupan sehari-hari banyak orang.
Di era digital ini, layanan streaming musik dan podcast telah mengubah kebiasaan pendengar radio. Saat ini, audiens dapat mendengarkan musik kapan pun dan di mana pun melalui layanan on-demand.
Hal ini mencerminkan perilaku generasi muda dalam mengonsumsi media, di mana mereka terbiasa dengan kebebasan untuk memilih serta memiliki kendali penuh atas konten yang mereka nikmati. Kondisi yang membuat radio terkesan ‘usang’.
Namun, sebelum kita terlalu cepat menganggap radio usang, mari kita lihat melalui beberapa lensa teori media. Pertama, kita dapat menggunakan Teori Ketergantungan Media (Media Dependency Theory) yang diajukan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur.
Menurut teori ini, semakin bergantung seseorang terhadap media untuk memenuhi kebutuhannya, semakin penting pula media tersebut bagi orang tersebut. Radio memiliki keunggulan dalam menyediakan informasi real-time, terutama dalam situasi darurat seperti bencana alam.
Radio dengan sumber dayanya dapat menjadi sumber yang paling cepat, murah dan dapat diakses secara luas, khususnya di daerah yang jaringan internetnya putus.
Selain keunggulan tersebut, keunggulan radio yang lain adalah kemampuan penyiar dalam membangun hubungan yang personal dengan audiens.
Penyiar radio tidak hanya menyampaikan musik atau berita, tetapi juga menghadirkan kepribadian, humor, dan interaksi yang tidak bisa disamai oleh algoritma canggih di platform streaming.
Bagi sebagian pendengar, terutama di kalangan komunitas lokal, radio menawarkan rasa keterhubungan yang lebih mendalam dibandingkan layanan streaming yang cenderung lebih impersonal.
Hubungan ini dapat dijelaskan melalui Teori Uses and Gratifications (Teori Penggunaan dan Kepuasan). Teori ini berfokus pada bagaimana audiens aktif memilih media tertentu untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka, seperti kebutuhan akan informasi, hiburan, atau bahkan interaksi sosial.
Kita juga bisa melihat ini dari perspektif Teori Ekologi Media (Media Ecology Theory) yang dikembangkan oleh Marshall McLuhan. McLuhan menyatakan bahwa medium itu sendiri adalah pesan.
Radio, sebagai medium, memiliki karakteristik tertentu yang memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengannya. Meskipun platform streaming menawarkan kebebasan dalam memilih konten, radio menawarkan flow yang terkurasi secara alami—sebuah aliran konten yang diatur oleh manusia, bukan algoritma.
Ini menciptakan pengalaman mendengarkan yang lebih kolektif, di mana pendengar terhubung melalui acara yang sama dalam waktu yang sama. Fenomena ini memperlihatkan bahwa radio, sebagai medium, membawa keunggulan sosial yang unik yang tidak bisa ditiru oleh layanan streaming.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa radio memang menghadapi tantangan besar. Pendengar muda yang tumbuh dengan akses mudah ke layanan on-demand cenderung tidak menganggap radio sebagai pilihan utama.
Mereka lebih memilih streaming yang memungkinkan mereka mendengarkan apa yang mereka inginkan, kapan pun mereka mau. Radio, dengan jadwal yang tetap dan terbatas, tampaknya kurang fleksibel dibandingkan layanan tersebut.
Dalam hal ini, radio mungkin harus menghadapi apa yang disebut McLuhan sebagai “penyusutan medium,” di mana medium lama perlu beradaptasi atau menghadapi penurunan relevansi.
Meski demikian, radio bukannya diam di tempat. Banyak stasiun radio tradisional kini juga mengadopsi teknologi digital, menyediakan streaming siaran mereka secara daring.
Beberapa stasiun bahkan mulai memproduksi podcast, mencoba menarik pendengar baru yang lebih muda. Ini menunjukkan bahwa radio tidak hanya berusaha untuk bertahan, tetapi juga berinovasi dalam ekosistem digital yang semakin kompleks.
Pada akhirnya, radio tidak akan hilang begitu saja. Meskipun layanan streaming terus tumbuh, radio masih memiliki tempat khusus, terutama dalam membangun koneksi emosional dan menyediakan informasi secara cepat.
Radio memang harus bertransformasi untuk tetap relevan, tetapi keunikan yang ditawarkan—dari sentuhan personal penyiar hingga kedekatan dengan komunitas lokal—akan memastikan radio tetap menjadi bagian penting dari ekosistem media kita.
Jadi, apakah radio bertahan atau tersingkir? Jawabannya mungkin terletak di antara keduanya. Radio tetap bertahan, tetapi bentuknya akan berubah seiring waktu.
Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, radio akan terus mencari caranya sendiri untuk hidup dan berkembang. Dan selama masih ada orang yang mencari sentuhan personal dan informasi real-time, radio akan terus diputar. Selamat hari Radio Nasional!