Pada era post-truth, penting bagi media massa untuk mempromosikan literasi informasi guna membantu masyarakat memilah informasi yang benar dari yang salah serta mencegah penyebaran berita palsu atau misinformasi.
Selain itu, dalam konteks semangat kebangsaan, peran media juga diperlukan untuk membangun masyarakat yang sehat, kuat, sejahtera, dan berdaulat.
Kondisi ini merupakan wujud dari teori tanggung jawab sosial terhadap pers yang dikemukakan oleh Robert Maynard Hutchins, yang menekankan bahwa media harus melayani publik melalui berita yang akurat, berimbang, dan dapat dipercaya.
Menurut McQuail (1987), salah satu ciri dari teori ini adalah media sebaiknya menghindari segala hal yang dapat menimbulkan kejahatan, kerusakan, ketidaktertiban umum, atau penghinaan terhadap masyarakat. Untuk memastikan hal ini, terdapat etika atau standar yang mengatur perilaku profesi anggotanya.
Namun, pemberitaan di salah satu televisi swasta mengenai atlet bulutangkis Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung, yang meraih medali perunggu di Olimpiade Paris 2024 melalui hasil sebuah “giveaway”, menjadi insiden yang mengundang perdebatan mengenai etika media.
Berita tersebut memicu reaksi keras dari publik Indonesia karena dinilai meremehkan perjuangan sang atlet.
Dalam berita yang disiarkan, terdapat penggambaran yang keliru, seolah-olah Gregoria Mariska Tunjung mendapatkan medali perunggu Olimpiade secara gratis, padahal untuk mencapai babak tersebut, perjuangan sang atlet dimulai dari babak penyisihan.
Selain penggambaran yang salah, berita tersebut juga menunjukkan rendahnya selera dalam pemilihan judul berita, yang terjebak pada clickbait atau copywriting yang tidak pantas.
Sebagai lembaga penyiaran, para pekerja mulai dari jurnalis lapangan, redaktur, hingga penanggung jawab, seharusnya memiliki sensitivitas dalam memilih kata dan bahasa dalam laporannya.
Ada sejumlah prinsip filosofi yang mengatur etika media, salah satunya berasal dari filsuf abad ke-18, Immanuel Kant, yaitu Imperatif Kategoris Kant (Kant’s Categorical Imperative).
Tes yang dilakukan Kant adalah membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip yang Anda inginkan berlaku secara universal—disebut imperatif kategoris.
Ini berarti Anda akan bertindak dengan bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana jika semua orang bertindak seperti ini?”
Kant seolah ingin menunjukkan bahwa kita (jurnalis) harus memutuskan tindakan terbaik yang dapat diambil dalam setiap situasi.
Dalam konteks berita Gregoria Mariska Tunjung, meskipun sang atlet mendapatkan medali perunggu tanpa bertanding, perjuangannya bukanlah hasil yang didapatkan secara gratis, melainkan hasil kerja keras dalam mengharumkan nama bangsa. Semangat inilah yang harus dikedepankan.
Meskipun televisi swasta tersebut kemudian mengklarifikasi dan meminta maaf atas penayangan berita tersebut, konsekuensi dari penilaian etis yang buruk telah muncul di hadapan publik. Reputasi jurnalis dan organisasi dapat rusak, dan hal ini dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan terhadap media yang bersangkutan.
Oleh karena itu, penting untuk menekankan bahwa dalam proses pembuatan berita, keputusan-keputusan etis harus dikedepankan setiap harinya, seperti kejujuran, keadilan, sensitivitas, dan tanggung jawab.
Shirley (2010) menyebutkan bahwa tujuan utama dari pers dan mereka yang bekerja di dalamnya adalah memberikan laporan berita yang jujur, akurat, dan lengkap kepada pembaca, pendengar, dan penonton.
Kekuatan pers tersebut juga harus digunakan secara bertanggung jawab dan penuh kasih.